01 Januari 2012

Sepak Bola, Kekasih yang Menyebalkan

Gabriel Batistuta tertunduk lesu melangkah menuju garis luar Stadion Miyagi, Jepang. Tepuk tangan membahana saat sang megabintang ditarik keluar oleh pelatih Marcelo Bielsa, Batigol tertunduk lesu menyambut gemuruh tersebut sembari memeluk penggantinya, Hernan Crespo. Hari itu 12 Juni 2002 di pertandingan terakhir di Group F Piala Dunia 2002 dan bisa dibilang, inilah pertandingan terakhir Batigol di ajang resmi bersama negaranya.


Saat itu Argentina adalah salah satu unggulan yang dianggap siap merebut gelar di turnamen pertama di Asia. Bergabung di group keras bersama Inggris, Nigeria dan Swedia, Tim Tango dengan materinya yang mengkilap saat itu dianggap mampu lolos dari kepungan 3 tim tersebut. Tapi apa lacur, ketajaman Batistuta, Hernan Crespo ataupun magis Ariel Ortega seolah lenyap di tangan 3 tim lainnya.


“Aku meminta maaf kepada publik atas kegagalan ini. Pada saat krisis ekonomi besar-besaran melanda negeri, kami gagal memberikan yang terbaik pada mereka,” isak Bati si kapten tim di depan wartawan setelah pertandingan, suasana konferensi pers mendadak sunyi, terutama wartawan Argentina yang sangat memuja Batistuta.


Argentina adalah salah satu negeri kuat di peta sepak bola dunia, mereka telah dua kali memenangi gelar juara dan selalu dijadikan unggulan di segala perhelatan dunia maupun regional. Walau belum lagi jadi juara dunia sejak 1990, siapa berani menyebut negeri ini sebagai tim lemah? Tak heran jika mereka selalu mematok target tinggi sembari memberi dukungan maksimal segala yang berbau tim nasional. La Albiceleste atau perkembangan terkini pemain-pemain di lapangan.


“Bepe memberi assist dan sempat mengancam gawang Uruguay, tapi penonton menyorakinya dan meminta dia mundur dari tim nasional. Mereka ini minta apa sih? Minta Bepe stepover kayak CR7?” ujar Pangeran Siahaan ketus. Ia yang duduk di bangku pers Stadion Senayan malam itu adalah saksi bahwa umpan yang dilepaskan oleh striker Indonesia pada rekannya Boaz Salossa ini sifatnya memang mematikan, “Umpannya bagus kok,” ujar Aang rekan saya lainnya yang juga menonton pertandingan itu.


Berkebalikan dengan Batistuta yang hari itu bermain buruk sehingga diganti pada menit ke-58 tapi tetap mendapat aplaus pendukung, Bambang Pamungkas justru mendapat cemooh luar biasa. Dan, tak berhenti di laga itu saja, tapi terus berkembang ke media-media lainnya, terutama di ranah Social Media di dunia maya.



Saya lalu membayangkan beban luar biasa yang diemban oleh pemain yang masih saya anggap cerdas walau di liga lokal sering terlihat agak malas ini. Juga beban yang diemban oleh rekan-rekan lainnya kini dan suatu hari nanti. Karena bagi saya, kalah dari Uruguay adalah hal yang sebenarnya wajar-wajar saja.


Saya pikir, justru aneh jika hari itu kita bisa memukul Uruguay yang baru saja menjadi semifinalis Piala Dunia, diperkuat oleh para pemain terbaiknya kecuali Diego Forlan, berperingkat ke-7 FIFA saat ini dan tentu saja mampu bermain sepakbola dengan cara yang benar lengkap dengan sistem kompetisi dan pembinaannya. Itu membuat banyak dari mereka bisa merumput di elite Eropa.


Kembali ke Soal Mental

Sadarkah kita bahwa kalimat “Sepak bola Indonesia memalukan bangsa!” yang dicetuskan oleh seorang pengamat di sebuah stasiun TV swasta serasa sangat berlebihan? Karena kita hanya kalah dari Uruguay yang bahkan Belanda saja nyaris mereka taklukkan, yang bahkan Brasil saja harus berhitung saat menghadapi mereka.


Kita tidak kalah dari Malaysia, Thailand atau bahkan Laos yang memang sepadan kekuatannya. Sadarkah si bapak pengamat itu bahwa korupsi, penegakan umum yang lemah atau ketidaktegasan pemerintah jauh lebih memalukan ketimbang urusan sepak bola yang diurus dengan benar juga tidak.


Sadar pulakah mereka yang menyoraki striker yang telah menjadi bagian dari tim Merah Putih selama nyaris 10 tahun ini bahwa sepak bola kita ya memang segitu saja. Jauuuuuuh jika mau dibandingkan dengan Uruguay yang jelas sudah sangat mapan. Jauh pula dengan Jepang yang punya mekanisme pembinaan dan kompetisi sangat baik.


Sepak bola kita memang tidak pernah kemana-mana selain “nyaris lolos ke Olimpiade” atau “seri melawan Uni Soviet” yang sudah bubar itu. Tim nasional kita dari dulu memang cuma mampu jadi juara di turnamen-turnamen persahabatan dan itu pun di negara-negara yang kini juga segitu-gitu aja lengkap dengan lawan yang tentu saja tidak kompetitif dibanding hari ini. Mungkin tim nasional masa lalu luar biasa hebat, tapi siapakah generasi muda masa kini yang pernah menyaksikan rekaman pertandingan mereka?


“Sepak bola hanyalah masalah kecil diantara jutaan masalah yang mengimpit bangsa ini,” ujar seorang bapak yang duduk di belakang saya saat diskusi sepakbola di sekretaris negara.


Dia benar dan sangatlah benar. Dan karena masalah-masalah besar itu berimbas pada mental bangsa— termasuk mental kita dan juga saya — jangan heran jika sepak bola kita memang tidak kemana-mana.


oleh: @andibachtiar


0 comments: