Tanpa
suporter, sebuah klub sepakbola tak ada artinya. Namun, karena mereka pula,
klub bisa dicap negatif.
Some people think football is a matter of life and
death. I assure you it’s much more important than that. –Bill Shankly,
ex-manajer Liverpool-
Banyak
pengertian arti tentang suporter. Namun, satu hal yang pasti supporter adalah
pemain ke-12 dalam lingkup sepakbola. Salah satu hal penting dari sebuah klub
dalam memberikan dukungan serta motivasi
bagi para pemainnya. Tak heran apabila kemenangan sebuah klub rata-rata
diperoleh jika bermain di kandang. Hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia,
sebuah klub pasti memiliki suporter yang siap mendukung tim kesayangannya, baik
saat bermain kandang maupun tandang.
Di Inggris,
sebutan hooligans begitu lekat dengan
para suporter garis keras. Tak jarang,
para hooligans ini membuat
kekacauan baik sebelum maupun setelah laga digelar. Setiap klub di Inggris
memiliki suporter yang kental dengan aroma kekerasan di jalanan. Di film The Green Street Hooligans diceritakan
bagaimana kehidupan suporter West Ham United. Mereka hidup dan bertarung di
jalanan kota London atas nama kesetiakawanan, loyalitas, harga diri, dan
kebanggaan. Mereka bukan hanya penonton yang membeli tiket pertandingan dan
memberi dukungan kala tim kesayangannya bertanding.
West
Ham United dan Millwall merupakan salah satu persaingan paling lama di Inggris
meski kedua kubu baru bertemu beberapa kali. Persaingan derby London Timur telah berkurang karena keduanya bermain di
divisi yang berbeda dalam jangka waktu yang cukup lama. Peluang kedua klub
tersebut bertemu hanya saat Piala FA dan Piala Liga. Saat kedua tim bertemu
pada Piala Liga 25 Agustus 2009, kerusuhan terjadi. Bentrokan pecah, baik di
dalam maupun di luar stadion Upton Park, markas West Ham. Skor akhir 3-1 bagi
kemenangan West Ham. Bahkan, di luar stadion dilaporkan terjadi penikaman oleh
seorang suporter West Ham kepada serorang suporter Millwall.
Di
London Utara, Arsenal dan Tottenham hanya dipisahkan jarak 1 mil. Persaingan
kedua kubu dimulai tahun 1919. Saat itu, Tottenham sedang mengalami masa
kejayaan, sedangkan Arsenal baru promosi ke First
Division (sekarang Premier League).
Hingga sekarang, setiap kali peringkat Arsenal berada di atas Tottenham, selalu
ada sebutan St. Totteringham’s Day.
Persaingan kedua klub semakin parah saat Sol Campbell, kapten Spurs kala itu,
menyeberang dari Spurs ke Arsenal pada tahun 2001. Sol pun dilabeli “Judas”
oleh pendukung Spurs Yid Army’s.
Di
London Barat, persaingan seru terjadi jika Chelsea dengan Fulham. Di London
Selatan, derby panas milik Charlton
Athletic, Crystal Palace, dan AFC Wimbledon. Terutama saat AFC Wimbledon masih
bermarkas di Selhurst Park (sekarang markas Crystal Palace). Permainan kasar
AFC Wimbledon membuat mereka dijuluki The
Crazy Ganks. Setelah AFC Wimbledon pindah markas ke Milton Keynes, serta
Charlton yang masih berkutat di kasta kedua Liga Inggris, persaingan London
Selatan tidak sepanas dulu.
Kota
London memang memiliki jumlah klub yang banyak. Oleh karena itu, setiap kali
dua klub dari kota London bertemu sering dilabeli Derby London. Meski tak melibatkan klub besar. Mungkin hanya
Arsenal dan Chelsea yang disebut The Real
London Derby. Setiap kali kedua kubu akan bertemu, satu pekan sebelumnya
maupun setelah laga, selalu ada tagline
“London is Red” atau “London is Blue”.
Dari
wilayah Barat Laut Inggris, kota Liverpool dan Manchester menjadi kota dengan
basis suporter terfanatik. Kebesaran nama kedua klub di kota tersebut tak luput
dari prestasi yang mereka capai. Liverpool yang mendiami stadion Anfield sejak
1884, memiliki jumlah suporter yang banyak dari penjuru dunia. Sejak
kehadirannya di persepakbolaan Inggris, prestasi yang mereka torehkan di
kompetisi domestik dan Eropa begitu gemilang. Hingga pada 29 Mei 1985, terjadi
tragedi yang menodai Liverpool dan hooligans
di Inggris.
Tragedi
yang dikenal dengan sebutan Tragedi Heysel terjadi kala Liverpool berjumpa
Juventus di final Piala Champions (sekarang Liga Champions) di Stadion Heysel
di kota Brussel, Belgia. Persitiwa dimulai kala kedua suporter saling ejek dan
melecehkan. Lalu, suporter Juventus melemparkan kembang api ke arah suporter The Reds. Kejadian ini memicu baku
hantam di dalam stadion hingga menyebabkan pagar pembatas kedua suporter rubuh.
Total 39 korban jiwa tercatat dalam tragedi tersebut. Akibat tragedi ini, FIFA
menjatuhkan skorsing bagi semua wakil Inggris di kompetisi UEFA selama 5 tahun.
Rivalitas,
derby, serta seteru abadi menjadi
faktor utama pemicu pembakar fanatisme. Semangat pemain Liverpool serta
suporternya dapat terlihat kala bertanding melawan musuh abadi mereka,
Manchester United. Baik saat bermain di Anfield, maupun di Old Trafford.
Sedangkan, Manchester United sendiri memiliki rivalitas dengan Leeds United dan
seteru sekota mereka, Manchester City.
Hampir
di setiap pertemuan MU dengan Leeds selalu dibumbui dengan bentrokan
antar-suporter kedua kubu. Tanggal 14 September 2002, duel Leeds vs. MU di
Premier League membuahkan kerusuhan berdarah di Ellan Road. Fans Leeds makin
sakit hati, kala pemain kesayangan
mereka, Rio Ferdinand dan Alan Smith menyeberang ke kubu rival.
Di kota
Manchester, Citizens (sebutan
suporter Manchester City) sama sekali tak menganggap Manchester United sebagai
bagian dari kota Manchester. Alasannya, lokasi MU berada di pinggiran kota,
sedangkan City terletak di pusat kota. Manchester
is Blue, begitu kata mereka. Meskipun
miskin prestasi, jumlah pendukung mereka tak berkurang. Mantan personil Oasis,
Liam dan Noel Gallagher, adalah penggemar City yang paling dikenal dan gemar
menulis lagu untuk klub kesayangannya. Mereka pun tak segan melontarkan
kebencian kepada MU.
Di Old
Trafford, suporter MU selalu memasang spanduk menyindir rivalnya. Mulai dari
jumlah gelar yang diperoleh MU, hingga berapa lama City lama tak berprestasi
sejak juara Piala Liga 1976. Selain itu, ada spanduk bertuliskan Manchester United is My Religion. Old
Trafford is My Church. Semua itu berubah kala Sheikh Mansour mengakuisisi
City. Gelontoran dana tak terbatas membuahkan juara liga musim 2011-12 yang ditentukan
oleh selisih gol antara MU dan City.
Meski
para suporter tersebut berseteru demi klub, tapi perseteruan tersebut terasa
hilang kala mendukung timnas Inggris di kancah internasional. Ancaman sanksi
dari FIFA bagi suporter urakan, membuat para Hooligans harus berpikir ulang melakukan tindakan anarkis. Sanksi
yang diberikan tak hanya merugikan mereka tapi juga negara yang mereka dukung.
Seperti
kata Bill Shankly: Sepakbola bahkan lebih penting dari urusan hidup dan mati.
0 comments:
Posting Komentar